“Move on lah selagi masih muda”
Kamis, (26/4) di ruang ETD Perpustakaan FT UGM diadakan diskusi santai tentang dunia para simbah. Diskusi ini mengahadirkan Feriawan Agung Nugroho, S.Sos. Feri, begitu dia akrab dipanggil, merupakan staf di Panti Wredha Abiyoso sejak 2011. Feri mengabdi sebagai pekerja sosial, merawat para simbah yang menghuni panti.
Feri memulai dengan menyodorkan angka, bahwa ada ribuan simbah yang terlantar di DI. Yogyakarta. Kondisi dan latar belakang mereka beragam. Panti hanya mampu menampung 126 saja. Sangat jauh dari kebutuhan.
Seiring waktu, para simbah ini menurun kondisi fisik, serta memorinya. Sehingga mendekati sifat anak-anak. Perbedaannya, anak-anak diibaratkan kertas putih yang belum ada coretan. Sementara para simbah merupakan kertas yang sudah penuh coretan. Dari 126 orang yang ada di panti, tutur Feri, mereka juga memiliki 126 cerita unik masing-masing sehingga akhirnya menghuni panti. Feri menceritakan kisah para simbah ini di laman Facebooknya http://facebook.com/feriawan
Feri melanjutkan paparannya dengan menampilkan foto-foto para simbah: sebelum masuk panti terkait kondisi rumah dan fisiknya, serta kegiatan di dalam panti.
Foto yang ditampilkan, ditambah dengan paparan latar belakang para lansia, menjadikan kami, para peserta, kaget. Ada hal yang diluar dugaan. Pak Herwin, salah seorang peserta menyampaikan hal serupa, “Di luar dugaan, Pak. Saya kira baik-baik saja”.
Fakta yang diangkat Feri di sore itu menyuguhkan renungan pada peserta. Hal yang secara umum dianggap bisa menjamin di hari tua, tidak sepenuhnya tepat. Ada simbah yang kaya di masa muda, bahkan istri seorang dosen, namun kondisi tuanya sangat disayangkan. Ada artis yang bergelimang harta ketika masa jayanya, namun akhirnya menghuni panti wredha dengan alasan yang di luar dugaan. Kemudian seorang ibu yang dibuang secara sengaja dengan cara ditinggalkan di sebuah bus. Ada yang memiliki anak sukses dan kaya raya, namun ternyata tidak menjamin hidup di masa tuanya.
Ada pula sepasang suami istri yang menghuni panti dengan cerita unik. Si istri merasa tidak diperhatikan oleh si suami. Padahal suaminya sangat mencintainya. Berdasar tuturan Feri, ternyata si istri gagal move on pada kisah cintanya di masa muda. Suaminya yang sekarang, bukanlah orang yang diharapkan.
###
Pada sesi dialog, berbagai tanggapan disampaikan. Bahkan ada pula pertanyaan. Bagaimana menghadapi orang tua yang tidak mau salah, meskipun sebenarnya salah?, Bagaimana menghadapi orang tua yang selalu bicara kematian?, Bagaimana sikap terbaik pada orang tua? Bagaiama sikap orang tua pada anaknya, sebagai antisipasi agar di masa tua tetap bisa harmonis?
Mendidik anak dengan tidak ngujo atau ngelulu dengan menuruti segala permintaanya. Feri menceritakan, ada anak dituruti segala kemauannya. Namun ketika orang tua meninggal, si anak tidak memiliki semangat berjuang secara mandiri. Ketika dibawa ke panti, akhirnya kembali ke rumahnya yang besar namun tidak terawat. Perlu dihindari pula menempatkan anak sebagai perpanjangan angan orang tua.
###
Pada bagian tentang kehidupan di dalam panti. Feri menampilkan beberapa foto kegiatan para simbah. Ada seorang simbah yang berjalan dengan bantuan tongkat kaki tiga, dibawah guyuran hujan ke masjid panti. Orang tua, yang mengingat kematian itu wajar. Sangat manusiawi, papar Feri. Justru jika mereka masih mengingat duniawi, ini yang aneh. Ada pula, yang berjalan merangkat bersikeras ingin kembali ke daerahnya. Dia yakin masih ada saudara. Padahal dia sudah sebatangkara.
Kisah cinta di panti wredha, dari para simbah tidak lupa Feri ceritakan. “Ada 8 kasus jatuh cinta di panti yang pernah kami tangani. Kasus pertama membuat kami bingung. Ada simbah yang membuat surat cinta, tapi dalam bahasa Belanda”, Feri memulai ceritanya. Mereka membuat surat cinta, kemudian dititipkan pada orang yang dipercaya, sebagai comblang. Comblang ini penghuni panti pula. Rangkaian kalimat cinta dari para simbah yang bisa terbaca, sangat luar biasa. “Kang mas, mangkeh sareng-sareng tindhak dateng pasar, njih. Kulo tenggo wonten mriki”, salah satu kalimat yang dicontohnya oleh Feri. Benar. Mereka janjian, dan gandengan tangan menuju pasar. Feri juga menceritakan singkat tentang kisah cinta Mbah Kad, yang akhirnya dengan terpaksa sesuai ketentuan harus dipisahkan. Kisah cinta lainnya, tentang Mbah Ran dan Mak War. Diceritakan komplit oleh Feri di https://www.facebook.com/feriawan/posts/10216317182150475. Membacanya membuat kita memahami, bahwa orang tua benar-benar memiliki sisi-sisi yang tidak disangka sebelumnya.
###
Feri mempersilakan bagi yang ingin datang ke panti. Namun, ada ketentuan yang sangat ketat. Di antaranya: harus menyalami semua penghuni panti, tanpa terkecuali; jika membawa makanan, harus sejumlah penghuni panti, dalam bentuk yang sama, bungkus yang sama, rasa yang sama dan dibagikan dalam waktu bersamaan. Ketentuan ini dibuat agar tidak ada kecemburuan pada para simbah penghuni panti. Perbedaan sedikit saja, akan berakibat gangguan pada hubungan antar penghuni. Selain itu pengunjung tidak boleh memperlihatkan wajah sedih di depan para simbah.
Selain itu, Feri juga memberikan tantangan pada mahasiswa Fakultas Teknik terkait desain tempat tidur yang ramah lansia, serta mendukung proses perawatan lansia.
###
“Jangan tunjukkan rasa khawatir di depan orang tua. Karena dengan demikian, maka justru akan membuat mereka jadi khawatir. Support, dukung agar mereka bisa menikmati masa tuanya dengan gembira dan sejahtera”, tutur Feri memungkasi paparannya. Orang tua, jompo, tidak dalam porsinya dinasehati. Justru anak-anaknya yang harus memaklumi. Memang demikian masanya.
Menjadi penghuni panti, idealnya suatu saat nanti berbasis hak. Para simbah sendiri yang memilih. Sementara keluarga, seharusnya memiliki pemahaman pada lingkungan ramah lansia mulai dari lingkungan keluarganya dan sekitarnya. Banyaknya lansia yang terlantar, merupakakan PR kita semua.
Bagi yang ingin membaca berbagai cerita tentang dunia para simbah, silakan buka catatan Feriawan di http://facebook.com/feriawan