Judul : HAMKA Filsuf Nusantara Terbesar Abad 20
Pengarang : Muhammad Hamdan Mukafi
Penerbit : Sociality
Tahun : 2019
Halaman : 304
Haji Abdul Malik Karim Amrullah atau Buya Hamka adalah seorang Sastrawan, Ulama, dan Cendekiawan Muslim. Beliau lahir pada tanggal 17 Februari 1908, di Nagari Sungai Batang, Tanjung Raya, Kabupaten Agam, Sumatera Barat. Karya terbesar Hamka adalah Tafsir Al-Azhar yang beliau tulis di dalam penjara semasa pemerintahan Soekarno. Selain itu juga ada karya roman yang berjudul Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck, Di Bawah Lindungan Ka’bah, dan Merantau ke Deli.
Hamka kecil sudah senang membaca buku. Setiap hari setelah pulang dari sekolah, ia langsung pergi ke tempat persewaan buku milik guru di sekolahnya. Buku yang ia baca adalah buku-buku terbitan Balai Pustaka, Cerita Cina, dan Arab. Suatu hari Hamka dimarahi oleh ayahnya karena uang saku yang diberikan selalu habis untuk menyewa buku. Akhirnya Hamka berfikir untuk bekerja di sebuah percetakaan buku agar ia bisa membaca buku secara gratis. Ketika menginjak remaja Hamka menjadi seorang pemberontak. Karena ia merasa suasana rumah sudah tidak nyaman lagi. Kedua orang tua Hamka bercerai, kemudian ayah dan ibunya menikah lagi dengan pilihannya masing-masing.
Pada tahun 1924 Hamka pergi merantau ke Tanah Jawa. Kota Yogyakarta sebagai pilihan untuk tempat tinggal selama ia di perantauan. Disini Hamka belajar mengkaji Tafsir Al Qur’an kepada Ki Bagus Haji Kusumo. Sejak saat itu ia mulai membandingkan ajaran Naqsabandiyah yang ada di Minangkabau. (Naqsabandiyah 6 pokok ajaran : Taubat, Uzlah/Pengasingan Diri, Zuhud, Takwa, Qana’ah, Taslim/Berserah Diri). Selain belajar Tafsir Al Qur’an, Hamka juga belajar tentang organisasi perserikatan Sarekat Islam. Ia berguru kepada HOS. Cokroaminoto, Suryopranoto, dan Sutan Mansyur. Selama mengembara ia bisa menemukan satu hal penting dalam kehidupan, yaitu bagaimana melakukan penilaian bukan dari apa yang terlihat, tapi apa yang tidak terlihat. Karena di dalam sebuah perjalanan kita tidak bisa memilih, dengan siapa kita akan bertemu, dengan siapa kita bicara, harus makan apa kita, semua di jawab dalam makna perjalanan yang seperti takdir. Tidak bisa diketahui sebelum ditemui.
Bila perahuku telah berlayar
Dia tidak mengenal pulang lagi
Biar patah tiangnya di laut
Lebih baik tenggelam daripada pulang
(HAMKA, 2016: 131)