“Kejujuran sesungguhnya bukan hal yang istimewa. Dialah yang seharusnya dianggap biasa”
Kabul, dengan segala upayanya berusaha mempertahankan kejujuran, idealismenya di tengah himpilan ke-dalkijo-an orang-orang proyek. Namun akhirnya Kabul tidak kuat dengan Dalkijo dan segenap “turunannya”. Sebagai bagian dari proyek jembatan, sebelum mundur dia memastikan bahwa rangka jembatan yang dia bangun kuat. Ketika sampai pada pembangunan lantai, dia tidak mau kompromi dengan sifat ndalkijo kawan-kawannya. Dia mundur.
Tepat! Lantai itu hanya bertahan setahun. Jebol. Produk kedalkijoan itu ambrol. Ketika Kabul tahu jembatan ditutup karena rusak, dia datang dan melongok ke bagian yang pernah dikerjakannya. Aman.
Kabul menyingkir, karena dia tidak mau kompromi. Pendidikan orang tuanya, lebih kuat dari pada pendidikan formalnya. Kejujuran yang diajarkan orang tuanyalah yang menyelamatkan. Sementara pendidikan formal, sarjana yang tersemat di diri Dalkijo, ternyata tak mampu berbuat apa-apa.
###
Diskusi tentang novel “Orang-orang Proyek” karya Ahmad Tohari sore itu (10/4) berjalan lancar. Bersama 17-an peserta, Mas Asef Saeful Anwar memberi pantikan terkait novel dari sisi pandang seorang sastrawan. Mas Asep memulai dengan istilah “proyek”. Istilah ini sudah keluar dari arti sebenarnya. Proyek identik dengan keculasan, kecurigaan, bagi-bagi, dan semacamnya.
Ada tiga kelompok tokoh dalam novel ini: kompromi, netral, dan idealis. Ketiganya merupakan sikap pada sebuah proses proyek pembangunan jembatan, yang (sesuai seting waktu di novel) dibangun pada awal 90-an. Ketiga kelompok ini melalui pergulatannya masing-masing. Ada Tarjo, dan Kabul yang idealis. Dalkijo yang kompromis, yang kemudian disusul Basar. Serta Mak Sumeh dan karyawannya, Tante Ana, serta para pekerja yang ada di posisi netral.
Dalkijo, Basar, dan Kabul merupakan alumni satu perguruan tinggi. Mereka sarjana namun pada proyek jembatan itu berbeda posisi. “Kabul tetap idealis karena pendidikan orang tuanya. Ada nilai-nilai lokal (kearifan lokal) yang selalu ditanamkan orang tuanya”, kata Mas Asep. Pendidikan formal, tidak menjamin konsistensi sikap. Memang, dalam novel ini latar belakang sosok yang banyak diceritakan hanyalah Kabul. Dalkijo, sang kompromis hanya diulas sedikit. Seolah penulis hendak mengatakan bahwa pendidikan keluarga lebih penting dalam membentuk sikap seorang anak, dibanding pendidikan formal.
Akutnya bancaan proyek diulas pada novel ini. Bukan saja para pekerja, namun juga orang/penduduk di sekitar proyek. Ada yang meminta semen, yang kemudian dikeluhkan oleh Kabul pada Pak Tarya. Selain itu, juga permintaan “jatah” untuk pembangunan rumah ibadah.
Pada sesi diskusi, berbagai pandangan terkait novel dan juga proyek bermunculan.
Korupsi proyek, bisa jadi sudah bergeser. Bukan lagi mengurangi takaran bahan. Namun bergeser ke metode pengerjaan. Seorang peserta dari Papua, bercerita panjang lebar tentang pandangannya pada pembangunan dan segala pernak-perniknya. Diskusi menjalar sampai pada proses pembangunan, kearifan lokal penduduk, kontribusi “orang proyek”,
Mas Asep menyampaikan, bahwa apa yang terjadi di bawah, sangat mungkin karena apa yang terjadi di atas. Novel ini, lanjut Mas Asep, mudah ditebak ceritanya. Dari sisi sastra, hitam-putihnya sangat jelas. “Kita tidak bisa membaca, karena cerita terlanjur diselesaikan, apakah misalnya, jika Dalkijo menawari Kabul sejumlah uang, atau Dalkijo diam-diam membangun rumah Kabul di kampung, Kabul tetap dengan pendiriannya?”. Meskipun demikian, tetap ada nilai-nilai yang bisa kita ambil hikmahnya untuk masa kini.
Slide diskusi bisa diunduh di: http://lib.ft.ugm.ac.id/?wpdmdl=5215