Di ruang diskusi lt. 2 perpustakaan Teknik UGM, DEM dan LPKTA berkolaborasi menggelar diskusi tentang reaktor thorium. Dimoderatori oleh Fardan (TN 2016), acara ini menghadirkan Prof.Ir.Syarip (Kepala PSTA BATAN Yogyakarta) dan Dr. Ir. Andang Widi Harto, MT (Dosen DTNTF UGM). Hadir sekitar 70 orang pesert dari berbagai departemen.
Kebutuhan listrik Indonesia cukup besar. Pada tahun 2015 tercatat 55 GWe, sedangkan pada tahun 2025 kebutuhan listrik diestimasi meningkat 3x lipat, dan pada tahun 2050 diestimasi kebutuhan listrik Indonesia adalah 430 GWe. Dalam dunia industri, terdapat beberapa entri level bahan industri. Level 1 adalah SDA mentah, level 2 adalah hasil pengolahan tingkat pertama level 1, level 3 adalah hasil manufaktur, dan level 4 adalah produk. Semakin tinggi entri level bahan maka dalam mengolah bahan industri tersebut dibutuhkan pula energi yang besar. Terdapat beberapa opsi energi untuk mengolah bahan yaitu renewable energy, fosil, dan nuklir. Sedangkan yang memungkinkan untuk skala industry adalah fosil dan nuklir, namun dengan cadangan sumber daya fosil yang menipis, opsi terakhir yang bisa digunakan adalah nuklir. Nuklir dapat memenuhi kebutuhan energi yang besar , yang mana hanya dengan massa kecil namun menghasilkan energi yang massive.
Bahan nuklir sendiri yang bisa dipakai untuk menjadi energi adalah U-238 dan Th-232, jika dilihat dari banyaknya sumber daya di Indonesia, Thorium-lah yang cukup potensial yaitu 1000 ton di Bangka Belitung, dan di Mamuju lebih banyak lagi. Selanjutnya jika dilakukan perbandingan antara Thorium dan Uranium, pada PLTN yang berbahan bakar Uranium akan menghasilkan lebih banyak limbah daripada Thorium. Sehingga dari perbandingan tersebut Thorium adalah sumber energi yang cocok dikembangkan untuk masa depan.
Perkembangan PLT Thorium di Indonesia pada tahun 2019 dimulai dari kerja sama antara PT PAL Indonesia dan pemerintah Rusia terkait dengan PLT Thorium yang berada di laut atau terapung. PLT Thorium terapung hasil kerja sama PT PAL dan Rusia ini sudah beroperasi sejak 23 agustus 2019. Nama kapal terapung dari PLT Thorium ini adalah akademik Lamonosov, dengan daya thermal 70 Mwe dan 50 G kal/J, dan mampu mensuplai listrik untuk 100.000 orang. PLTN tipe terapung biasanya reaktornya adalah tipe PWR(Pressurized Water Reactor) yaitu reactor yang air ringan digunakan sebagai pendingin dan medium pelambat neutron (moderator neutron). Teras reaktor diletakkan dalam satu bejana. Sistem air pendingin yang melalui teras reaktor disebut sistem pendingin primer.
Di dalam sistem primer tidak diperbolehkan terjadi pendidihan, karena itu sistem dibuat bertekanan yang tinggi. Dari sistem pendingin primer yang bertekanan tinggi dan bertemperatur tinggi ini, air pendingin dialirkan ke pipa-pipa dalam alat pembangkit uap. Di luar pipa ini air (dalam sistem pendingin sekunder) menerima panas dari air pendingin primer dan mengalami penguapan. Uap yang terjadi dari air pendingin sekunder ini kemudian dialirkan ke turbin untuk memutar generator listrik. Selanjutnya untuk reaktor Thorium akan diterapkan teknologi reaktor generasi IV yaitu MSR(Molten Salt Reactor). MSR menggunakan moderator grafit dan bahan bakar sekaligus pendingin berupa senyawa garam dalam bentuk cair. Sistem pada MSR berbeda dengan reaktor nuklir konvensional yang memakai bahan bakar nuklir dalam bentuk padat.
Konsep MSR berbeda secara fundamental dengan desain reaktor konvensional, karena fase materialnya adalah bahan bakar cair dan moderator padat. Kelebihan MSR disbanding reaktor nuklir kovensional adalah dari segi keselamatan yang bahan bakarnya dalam bentuk cair, karena penggunaan bahan bakar cair terjadinya nuclear meltdown atau kebocoran nuklir akibat bahan bakar nuklir yang sangat panas tidak didinginkan seperti pada kasus PLTN di Fukushima Daichi peluangnya menjadi hampir tidak mungkin terjadi karena bahan bakarnya sendiri sudah dalam bentuk lelehan (cair). MSR juga bersifat self-regulating, jika terjadi kenaikan suhu reaktor akan menurunkan reaksi fisi berantai, sehingga operasi reaktor akan kembali ke normal tanpa perlu adanya intervensi operator.
Tantangan dalam MSR ini adalah limbahnya akan memaparkan radiasi ke lingkungan lebih besar, lebih korosif, dan perawatan lebih sulit. Namun dengan berbagai advantages dinilai cukup impas dengan tantangannya. Di Indonesia, tantangan terkait PLT Thorium terapung adalah pada masalah perizinan, sebagaimana Indonesia adalah negara yang konservatif terkait bidang nuklir sehingga sulit untuk nuklir terutama untuk PLT Thorium terapung untuk mendapat izin dari Lembaga yang berwenang untuk memberi izin yaitu BAPETEN (Badan Pengawas Tenaga Nuklir). Langkah kedepan agar PLT Thorium terapung bisa dikembangkan lebih lanjut di Indonesia adalah dengan mengutamakan dahulu pembangunan PLTN landbase atau PLTN konvensional dan dimasukan ke rencana pembangunan nasional.
Tanya Jawab
a. – Bagaimana mengatasi limbah nuklir yang tidak bisa di manfaatkan?
Jawab: Beralih ke thorium lebih bersih, bahan radioaktif hasil dari reactor thorium yg berumur Panjang adalah Cs dan Sr, dgn T ½ sekitar= 30 tahun . Cs dan Sr adalah limbah yang valuable yang mana masih bisa dimanfaatkan lagi, sedangkan limbah lain yang umur radioaktifnya berates tahun bisa dimanfaatkan untuk bahan bakar reactor lain.
Untuk memulai menggunakan nuklir sebagai pembangkit listrik dibutuhkan
Dilihat secara kepentingan, pembangunan PLTN harus dimasukan ke rencana pembangunan nasional sehingga lebih diprioritaskan (go nuclear), kedua mengembangkan advance reactor, ketiga barulah mengembangkan industry nuklir dibanyak aspek kehidupan.
b. – mengapa perizinan untuk PLTN MSR belum tersentuh, padahal prospek program sangat bagus?
Karena peraturan pemerintah terkait PLTN MSR belum benar benar diperhatikan, dan yang lebih diutamakan adalah peraturan landbase (PLTN konvensional) sudah cukup utk progresnya.
Perkembangan thorium, apakah pt pal benar benar bida direalisasi?
Secara scientific yang menjadi masalah adalah proven, apakah memang lancer selama 3 tahun tidak pernah gagal. Namun dalam perkembangannya, memang belum memiliki progress yang signifikan.
Kesimpulan
Tantangan untuk benar benar membangun PLT Thorium terapung cukup kompleks, mulai dari perizinan, ekonomi, politik, dan proven terhadap pembangkit listrik itu sendiri. Namun inisiatif dari PT PAL yang berani menjalin kerja sama untuk rencana PLT Thorium terapung di Indonesia merupakan awal yang bagus untuk perkembangan PLT Thorium.
(Notulis: A’raf Adi Nugraha Putra)