Pada bulan April
ini Kamase (Komunitas Mahasiswa Sentra Energi) mengadakan Energy Talk kembali. Tepatnya pada hari Kamis, 13 April 2017 dengan bertempat di Perpustakaan Fakultas Teknik lantai 2. Dengan pembahasan seputar background dibutuhkannya energy terbarukan dan permasalahan apa saja yang ditimbulkan energi terbarukan. Sesi pertama dimulai dengan presentasi dari pembicara. Sebagai pembicara Dr. Ir. Agus Budhie Wijatna M.Si. dari DTNF UGM, dan moderator Kemal HM Ansor.
Renewable energy adalah energi yang dibangkitkan dengan memanfaatkan proses/ fenomena alam yang berkelanjutan. Berikut adalah pengertian energi terbarukan menurut pembicara. Berikut yang termasuk dalam berbagai resources energi terbarukan menurut pengertian di atas :
-
Energy air
-
Energy panas bumi
-
Energy matahari
-
Energy angin
-
Energy biomassa
Meninjau bonus demografi yang akan didapatkan Indonesia pada tahun 2020-2030 seperti yang telah dikemukan Presiden Jokowi, maka tentulah ini menjadi pertanyaan bagi kita semua. Karena dengan pencapaian angka 70% penduduk usia produktif dari 254,76 juta penduduk Indonesia, apakah ini akan membawa berkah atau bencana? Apakah dengan bertambahnya kuantitas penduduk usia produktif di Indonesia ini sebanding dengan penambahan kualitas?
Mengetahui fakta bahwa penduduk dunia akan bertambah dengan pesat ke depannya hingga mencapai 7 Milyar, sedangkan ketersediaan sumber daya dukung lingkungan hanya untuk 4 Milyar ini akan memunculkan kompetisi di antara penduduk dunia untuk mendapatkan sumber daya alam. Baik itu pangan, air, maupun energy.
Diketahui pembangkitan listrik di Indonesia baru 12% yang menggunakan Renewable Energy, sedangkan yang 88% sisanya masih menggunakan Non-Renewable Energy. Dari 88% itu 50% sendiri menggunakan sumber daya batu bara. Dan penggunaan batu bara secara terus menerus akan menyebabkan Indonesia menjadi salah satu kontributor gas rumah kaca di dunia ini. Sebagaimana dilansir bahwa di berbagai negara maju, lebih dari 70% lapangan pekerjaan menyangkut kegiatan industrial yang menghasilkan gas rumah kaca.
Kemudian diskusi mulai dilanjutkan tentang Pembangkit Listrik Tenaga Uap yang ada di Indonesia. Bahwa selain manfaat yang didapat, limbah-limbah yang dikeluarkan juga tidak boleh diabaikan. Salah satu contoh limbah PLTU adalah partikel-partikel debu dan gas yang ternyata mengandung radioaktif (radiasi U-238 dan Rcl). Sisa-sisa panas yang dihasilkan PLTU juga harus dibuang. Kebanyakan pembuangan dilakukan ke laut bebas, sedangkan suhu dari limbah ini bias mencapai nilai 8,3% °C lebih panas dari suhu lingkungan. Pada PLTU yang berada di daerah Subtropis, biota akuatik yang berada di laut sudah terbiasa dengan rentang perubahan suhu yang lebar, sehingga mereka masih mampu beradaptasi. Namun berbeda halnya dengan PLTU yang berada di daerah Tropis, karena biota akuatik tidak mampu menyesuaikan diri dengan perubahan suhu yang mendadak. Kemudian kebanyakan ikan akan bermigrasi ke tengah laut. Sehingga nelayan-nelayan harus menempuh jarak yang lebih jauh untuk mencari ikan. Dan dengan jarak yang lebih jauh, kebutuhan es untuk pengawetan ikan juga naik dan menyebabkan bertambahnya kebutuhan bahan bakar. Untuk menyiasati hal tersebut, para nelayan akan menggunakan formalin. Karena lebih murah dan dapat digunakan untuk waktu yang lama. Penggunaan formalin pada ikan tentu tidak baik. Dampak lain dari kenaikan duhu tersebut adalah coral bleaching dan penurunan nilai dissolve oxygen (DO). Jadi bisa disimpulkan bahwa pembangunan PLTU akan menimbulkan berbagai masalah baru di balik manfaatnya. Penurunan nilai DO tersebut biasanya diatasi dengan memasang kincir angiin di sekitar PLTU untuk menurunkan suhu udara yang panas tadi.
Setelah itu, pembahasan mengalir ke sumber energi terbarukan air, Pembangkit Listrik Tenaga Air di Indonesia berada antara lain di Kedung Ombo, Jawa Tengah dan di Karangkates, Jawa Timur. Permasalahan yang sering muncul adalah dibutuhkannya area yang besar. Apabila area yang akan dibangun PLTA tersebut bersinggungan dengan area penduduk maka akan sulit untuk merelokasi warga. Selain itu kebanyakan pembangunan PLTA juga tidak fleksibel dan susah penempatannya. Permasalahan lain yang muncul adalah munculnya banyak vegetasi di daerah hulu sehingga tanaman parasite tumbuh subur dan meneyebabkan pendangkalan yang akan membuat life cycle dari PLTA sendiri semakin singkat. pertumbuhan tanaman parasite juga menimbulkan penyakit malaria dan disentri pada penduduk sekitar PLTA.
Pada PLTS atau Pembangkit Listrik Tenaga Surya yang menggunakan Photovoltaic, kebanyakan masalah yang muncul hampir sama yaitu diperlukannya daerah yang luas. Sedangkan hasil listrik yang dibangkitkan hanya sebesar kurang lebih 1 MW. Sumber listrik ini dirasa masih belum memadai untuk kebutuhan listrik kegiatan industrial.
Energy Talk kemudian dilanjutkan dengan sesi 2 yang berisi pertanyaan dari peserta. Pertanyaan pertama berasal dari Mbak Susi Efrina Purba, Teknik Kimia Fakultas Teknik UGM angkatan 2015. Pertanyaan yang dikemukakan adalah perbedaan antara Renewable Energy dan Clean Energy? Jawaban dari Pak Agus Budhie adalah sebagai berikut, bahwa Clean Energy dan Renewable Energy sangatlah berbeda. Karena pengertian dari Clean Energy sendiri adalah sebuah proses pembangkitan listrik menggunakan energi di mana sama sekali tidak melepaskan gas rumah kaca. Sedangkan hampir semua pembangkitan listrik menggunakan energi terbarukan melepaskan gas rumah kaca.
Pertanyaan kedua datang dari Mas Widodo Setia N, MPKD UGM. Beliau menanyakan tentang kebijakan Menteri SDM Indonesia, pada RUPTL 2017-2026, yang mencanangkan tingkat renewable energy yang digunakan di Indonesia mencapai 22,5% pada tahun 2025. Apakah program ini realistis? Kemudian pertanyaan kedua adalah, apakah pembangunan pembangkit listrik berbasis geothermal di daerah sudah mempertimbangkan hal-hal social ekonomi bagi masyarakat? Dengan mengetahui bahwa Indonesia pada tahun ini sudah mampu mencapai nilai 12% untuk pembangkitan geothermal sendiri, sehingga untuk mencapai nilai 22,5% pembicara merasa bahwa hal ini masih cukup realistis. Dan untuk pertanyaan kedua, karena dalam pelaksanaan kegiatan pembangkit geothermal ini mengeluarkan suara yang sangat bising serta getaran yang cukup mengganggu masyarakat, maka seharusnya pada awal pembuatan dokumen perizinan di daerah sudah menyertakan dampak yang akan ditimbulkan dari pembangkit geothermal. < Leila Hanjani/KAMASE>