Agama leluhur adalah istilah baru populer sejak era reformasi. Kata ini sering identik dengan kearifan lokal. Agama leluhur merujuk pada praktik-praktik keagamaan lokal (subjek materi) yang sering diklaim sebagai praktik animis, magis, adat, budaya, dan seterusnya, baik dalam wacana publik maupun dalam literatur. Contoh dari praktiknya adalah semedi, sesajen, kunjungan (ritual) ke gunung dan sebagainya. Penganut agama leluhur terdiri dari penghayat kepercayaan dan masyarakat adat. Dalam politik, agama penganut agama leluhur senantiasa menjadi target penundukan, diskriminasi, dan kriminalisasi sekalipun pemerintah telah menerbitkan undang-undang tentang HAM.
Di level masyarakat agama dan adat disatu sisi sering dipertentangkan namun disisi lain, keduanya kadang dianggap sama ataupun tidak bertentangan. Keragaman presepsi terkait makna agama dengan adat sangatlah lazim pada masa penjajahan Belanda sampai ketika pemerintah Belanda mengeluarkan kebijakan pembedaan islam dengan adat di akhir abad ke-19. Dengan adanya kebijakan tersebut sukses mempolarisasi masyarakat jajahan. Akibatnya, adat yang dilembagakan menjadi eksklusif. Terkait kebijakan tersebut, pemerintah Belanda pada masa yang sama juga mengeluarkan kebijakan politik etis yang menekankan kewajiban bagi pemerintah penjajah untuk memperhatikan kesejahteraan masyarakat jajahan. Mengenai adat, penjajah Belanda berpendapat jika adat adalah budaya animis yang perlu ditransformasikan.
Pada awal abad 20-an beberapa perkumpulan politik sebagai bentuk kesadaran baru pada masa penjajahan Belanda dibentuk. Perkumpulan-perkumpulan politik tersebut tidak mampu memainkan fungsi layaknya parpol karena pada masa penjajahan tidak ada pemilihan umum dan sistem perwakilan politik. Perkumpulan-perkumpulan politik tersebut karenanya lebih merupakan Gerakan sosial-politik yang fungsinya lebih mengentalkan apa yang umum dikenal dengan politik aliran. Perkembangan politik aliran di atas berdampak pada polarisasi kelompok sosial yang semakin tajam. Kelompok priyayi dan abangan dianggap sekawan dan berhadapan dengan kelompok santri yang mana keduanya saling memperebutkan dukungan dan simpati. Polarisasi antara santri dengan abangan bahkan berkembang menjadi antagonisme. Namun antagonisme santri dengan abangan seakan berakhir ketika penajajahan beralih ke pemerintahan Jepang.
Suparjiyono, 31 Desember 2020.