EMHA AINUN NADJIB sering di panggil CAK NUN, lahir pada 27 Mei 1927 di Jombang Jawa Timur lahir. Pernah merguru di Pondok pesantren Gontor dan pernah “singgah” di Fakutas Ekonomi Universitas Gadjah Mada.
EMHA AINUN NADJIB merupakan cendikawan sekaligus budayawan, yang piyawai dalam menggagas dan menorehkan kata-kata.
Banyak tulisan, esai, kolom, cerpen dan puisi-puisinya yang telah dibukukan, salah satunya “Gelandangan di kampung sendiri”. Buku ini memaparkan keresahan- keresahan yang dialami rakyat kecil yang tidak diperhatikan oleh pemerintahnya.
Saya tertarik isi yang ada dalam buku Gelandangan Di kampung Sendiri salah satunya dengan judul topik ”Sunyi Kopra di Pulau Kei”. Suatu pembelaan Cak Nun terhadap rakyat kecil yang dituduh pemalas. “Siapa omong bahwa rakyat kita malas?”. ”Sejak pukul satu malam, ibi-ibu di Srandakan, Bantul, sudah menyiapkan dagangannya yang kemudian Ia panggul di punggung lalu jalan kaki dua puluh kilometer ke Pasar Kota Yogya, berjualan sampai jauh siang untuk memperoleh seribu-dua ribu rupiah. Orang-orang perkasa ini dituduh malas oleh orang-orang yang kerjanya duduk di kursi menghadapi meja, mengaku sekretaris, dan mengetik satu jam dalam sehari dan memperoleh ratusan juta….”
Dalam buku ini juga sertai esai dakwah yang tertulis di topik: Awas “Waswasa Yuwaswisu” Hatimu. ”Puisi” yang amat bersahaja, tetapi esensial, hakiki, realitas dan merupakan pemadatan dari kebutuhan kongkrit keseharian manusia.
Buku Gelandangan di Kampung Sendiri dicetak sebanyak 4 kali. Pertama Februari 2015, kedua Juni 2015, ketiga Februari 2016 dan yang keempat September 2016. Diterbitkan oleh Bentang Yogyakarta.
Esai-esainya yang banyak memberi pencerahan sekaligus refleksi tentang nilai dan hubungan kemanusian yang akan pudar. Paling tidak kita mendapat sebuah gambaran yang terjadi di masa lalu dan kemudian membandingkanya dengan peristiwa masa sekarang ini. (Apri Wibowo dengan diedit ulang oleh Purwoko)