Judul: Di Kaki Bukit Cibalak, Penulis: Ahmad Tohari, Terbit: 1994, 176 hal.
Novel ini menceritakan keadaan Desa Tengir pada tahun 70 an yang mulai tergerus kemajuan teknologi, seperti kerbau yang tergantikan dengan mesin traktor dan produk modern yang telah mengantikan alat-alat yang ramah lingkungan. Sampai penduduk rela makan dengan apa adanya karena uangnya dibelikan produk modern. Seseorang yang mengunakan produk moderen akan naik derajatnya.
Terdapat sosok pemuda berusia 24 tahun bernama Pambudi. Orangnya jujur dan berusaha untuk mensejahterakan desanya. Pambudi berkerja di koperasi desa yang tujuanya untuk mensejahterakan masarakat desa. Pambudi resah karena dana koperasi di selewengkan oleh teman kerja dan Pak Lurah. Munculnya dinding pembatas antara Pambudi dan Pak Lurah di awali dari sosok perempuan salah satu warga desa Tanger yang bernama Mbok Ralem yang meminta pinjaman koperasi desa untuk berobat dan tidak di perbolehkan oleh Pak Lurah.
Pambudi yang mempunyai jiwa penolong, berniat membawa Mbok Ralem berobat ke Yogyakarta. Jarak ke Jogja di tempuh 4 jam dengan bermodal uang tabungan Pambudi. Pengobatan Mbok Ralem sangat serius dan uang Pambudi tidak cukup untuk membiayai berobat. Bermodal pas foto, fotokopi surat keterangan dari desa dan surat pemeriksaan laboratorium Pambudi memasang iklan di surat kabar Kalawarta. Berkat pertolongan pemimpin redaksi, uang sumbangan yang terkumpul dapat untuk membiayai pengobatan dan masih sisa.
Kepala desa sangat resah karena pemberitan tentang Mbok Ralem terdengar Camat dan Gubernur. Kepala Desa sangat geram, dan dengan berbagai cara akan menyingkirkan Pambudi dari desa. Pambudi dianggap menjadi penghalang kedudukan Pak Lurah Dirga.
“Wani ngalah, luhur wekasane” wejangan dari orang tua agar Pambudi mengalah dalam menghadapi permasalahan dengan Pak Lurah. Menyingkir pergi ke Yogyakarta dan menemui teman sekolahnya dulu yang bernama Topo yang masih kuliah mengejar gelar doktorandus. Atas dorongan dan saran dari teman sewaktu SMA Pambudi kuliah sambil kerja di toko arloji. Selang satu bulan Pambudi keluar dan mendapat pekerjan di harian Kalawarta. Pambudi menjadi seorang jurnalis tanpa pendidikan formal berkat bimbingan pak Barkah yang sebagai pimpinan redaksi dan pemilik harian.
Cerita dalam novel ini sangat menarik karena dapat memberi pelajaran kepada pembaca bahwa kejujuran dapat mengalahkan ketidakadilan. Dengan bahasa yang mudah di pahami, pengarang juga menceritakan kesederhanan. (Apri Wibowo, Juni 2020)